Candi Barabudhur terletak di Kabupaten
Magelang, sekitar 15 km ke arah Baratdaya Yogyakarta. Candi Buddha terbesar di
Indonesia ini telah warisan budaya duniadan telah terdaftar dalam daftar
warisan dunia (world heritage list), yang semula diberi nomor 348 dan kemudian
diubah menjadi 582 pada tahun 1991. Lokasi Candi Barabudhur yang merupakan
bukit kecil dikelilingi oleh pegunungan Menoreh, G. Merapi dan G. Merbabu di
timurlaut, serta G. Sumbing dan G. Sindoro di baratlaut.
Sampai
saat ini belum ada kesepakatan di antara para pakar tentang nama Barabudhur.
Dalam Kitab Negarakertagama (1365 M.) disebut-sebut tentang Budur, sebuah
bangunan suci Buddha aliran Vajradhara. Menurut Casparis dalam Prasasti Sri
Kahulunan (842 M) dinyatakan tentang “Kawulan i Bhumi Sambhara”. Berdasarkan
hal itu ia berpendapat bahwa Barabudhur merupakan tempat pemujaan. Bumi
Shambara adalah nama tempat di Barabudhur. Menurut Poerbatjaraka, Barabudhur
berarti Biara Budur, sedangkan menurut Raffles, 'bara' berarti besar dan
'budhur' merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti Buddha.
Berdasarkan
tulisan yang terdapat di beberapa batu di Candi Barabudhur, para ahli
berpendapat bahwa candi ini mulai dibangun sekitar tahun 780 M, pada masa
pemerintahan raja-raja Wangsa Sanjaya. Pembangunannya memakan waktu
berpuluh-puluh tahun dan baru selesai sekitar tahun 830 M, yaitu pada masa
pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Konon arsitek candi yang
maha besar ini bernama Gunadharma, namun belum didapatkan informasi tertulis tentang
tokoh ini. Pada tahun 950 M, Candi Barabudhur terkubur oleh lava letusan G.
Merapi dan baru ditemukan kembali hampir seribu tahun kemudian, tepatnya pada
tahun 1814. Penemuan kembali Candi Barabudhur adalah atas jasa Sir Thomas
Stamford Raffles.
Pada
saat Raffles berkunjung ke Semarang, ia mendapatkan informasi bahwa di daerah
Kedu ditemukan tumpukan batu bergambar. Konon pada tahun 1814, serombongan
orang mendatangi suatu daerah di Karesidenan Kedu untuk mencari tahu lebih jauh
tentang legenda yang berkaitan dengan sebuah bukit dekat Desa Boro. Setelah
membabat semak belukar dan menggali serta membersihkan gundukan abu gunung
berapi, mereka menemukan sejumlah besar bongkahan batu berpahatkan
gambar-gambar aneh. Raffles kemudian memerintahkan Cornelius, seorang Belanda,
untuk membersihkan batu-batu tersebut. Pembersihan tumpukan batu dan lingkungan
di sekitarnya kemudian dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman.
Candi Barabudhur berdiri di atas bukit yang
memanjang arah timur-barat. Candi ini dibangun dari balok batu andesit sebanyak
47,500 m3, yang disusun rapi tanpa perekat, dan dilapisi dengan lapisan putuh
'vajralepa', seperti yang terdapat di Candi Kalasan dan Candi Sari. Bangunan
kuno Barabudhur berbentuk limas bersusun dengan tangga naik di keempat sisi,
yaitu sisi timur, selatan, barat, dan utara. Konon di sisi timur, di bawah kaki
candi, pernah ditemukan jalan naik ke atas bukit. Hal itu mendasari dugaan
bahwa Candi Barabudhur menghadap ke timur dan pintu utama adalah yang terletak di
sisi timur.
Tangga paling bawah dihiasi dengan kepala
naga dengan mulut menganga dan seekor singa duduk di dalamnya. Dugaan bahwa
Candi Barabudhur menghadap ke timur diperkuat dengan adanya pahatan relief
pradaksina ( yang dibaca memutar searah jarum jam), berawal dari dan berakhir
di sisi timur. Selain itu, arca singa yang terbesar juga terdapat di sisi
timur. Tangga menuju ke tingkat yang lebih tinggi dilengkapi dengan gerbang
yang berukir indah dengan kalamakara tanpa rahang bawah di atas ambang pintu.
Pada mulanya tinggi keseluruhan bangunan kuno ini mencapai 42 m, namun setelah
pemugaran tingginya hanya mencapai 34,5 m. Batur atau kaki candi berdenah bujur
sangkar dengan luas denah dasar 123 x 123 m, dilengkapi penampil yang menjorok
keluar di setiap sisi. Keseluruhan bangunan terdiri atas 10 lantai yang luasnya
mencapai 15, 13 m2. Lantai I sampai dengan lantai VII berbentuk persegi,
sedangkan lantai VII sampai dengan lantai X berbentuk lingkaran.
Candi Barabudhur tidak mempunyai ruangan
untuk tempat beribadah atau melakukan pemujaan karena candi ini dibangun untuk
tempat berziarah dan memperdalam pengetahuan tentang Buddha. Luas dinding
keseluruhan mencapai 1500 m2, dihiasi dengan 1460 panil relief, masing-masing
selebar 2 m.
Jumlah Arca Buddha, termasuk yang telah
rusak, mencapai 504 buah. Arca-arca Buddha tersebut menggambarkan Buddha dalam
berbagai sikap.
-
Arca-arca di sisi timur menggambarkan Dhyani Buddha Aksobhya, yaitu Buddha
bersila dengan sikap tangan menyinggung tanah atau sikap Bhumiparsyamudra.
- Arca-arca di sisi selatan menggambarkan Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah atau sikap Varamudra.
- Arca-arca di sisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amitabha, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan bersemadi sikap Dhyanamudra.
- Arca-arca di sisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menentramkam atau sikap Abhayamudra.
- Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mengajar (ibu jari dan telunjuk bersentuhan dan ketiga jari lain terangkat) atau sikap Vitarkamudra.
- Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mewejangkan ajaran atau sikap Dharmacakramudra.
- Arca-arca di sisi selatan menggambarkan Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan memberi anugrah atau sikap Varamudra.
- Arca-arca di sisi barat menggambarkan Dhyani Buddha Amitabha, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan bersemadi sikap Dhyanamudra.
- Arca-arca di sisi utara menggambarkan Dhyani Buddha Amogasidhi, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan menentramkam atau sikap Abhayamudra.
- Arca-arca di puncak menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mengajar (ibu jari dan telunjuk bersentuhan dan ketiga jari lain terangkat) atau sikap Vitarkamudra.
- Arca-arca di undakan lingkaran menggambarkan Dhyani Buddha Vairosyana, yaitu Buddha bersila dengan sikap tangan mewejangkan ajaran atau sikap Dharmacakramudra.
Candi
Barabudhur melambangkan tiga tingkatan dalam kehidupan manusia. Kaki candi
disebut Kamadhatu, melambangkan kehidupan di dunia fana, yang masih dipenuhi
kama (hasrat dan nafsu). Pada dinding kaki candi terdapat 160 panil relief
Karmawibangga. Saat ini relief tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup
urukan. Pada saat pembangunan candi ini sedang berlangsung, bangunan yang belum
selesai tersebut melesak ke bawah, sehingga arsiteknya memutuskan untuk
menguruk bagian kakinya. Konon selain untuk menghindari longsor, pengurukan
bagian kaki ini juga didasarkan atas alasan etika dan estetika.
Tubuh candi terdiri atas 5 tingkat, makin ke
atas makin mengecil, dengan denah bujur sangkar. Di setiap tingkat terdapat
selasar yang cukup lebar mengelilingi tubuh candi. Tepi selasar diberi dinding
yang dihiasi dengan panil-panil relief. Tubuh candi disebut Rupadhatu, yang
berarti dunia rupa. Dalam dunia ini manusia masih terikat dengan kehidupan
duniawi, namun sudah mulai berusaha mengendalikan hasrat dan nafsu.
Di beberapa tempat terdapat saluran
pembuangan air yang disebut Jaladwara. Dinding atas tingkat I dihiasi dengan
relief cerita yang diambil dari Kitab Lalitawistara, yang mengisahkan riwayat
Sang Buddha sejak turun dari surga Tusita ke bumi, saat menerima wejangan di
Taman Rusa dekat Benares, sampai pada saat mencapai kesempurnaan.
Dinding bawah dihiasi dengan relief
Jatakamala, kisah kehidupan Jataka dan Avadana, yang diwujudkan sebagai
Boddhisatwa karena perilakunya yang baik dalam kehidupannya yang lalu. Bagian
lain dari Kitab Jatakamala menghiasi sepanjang bagian atas dan bagian bawah
pagar selasar tingkat I dan tingkat II. Dinding candi di tingkat II dihiasi
relief dari Kitab Gandawyuha. Demikan juga dinding dan pagar selasar di tingkat
III dan tingkat IV. Kisah Sudhana yang dalam upayanya mencari pengetahuan dan
kebenaran telah bertemu Gandawyuha yang mengajari tentang kebijakan untuk
mencapai kesempurnaan dalam hidup.
Atap candi yang terdiri atas 3 tingkat disebut
Arupadhatu, yang berarti dunia tanpa rupa (wujud). Pada tataran kehidupan ini
manusia sudah terlepas dari hasrat dan nafsu. Atap candi berupa batur bersusun
3 dengan denah bundar membentuk 3 lingkaran bersusun dengan pusat yang sama
dengan stupa-stupa berisi arca Buddha. Dalam lingkaran di tingkat I terdapat 32
stupa, di tingkat II terdapat 24 stupa dengan lubang-lubang berbentuk wajik,
bersisi horisontal datar dan sisi vertikal miring. Lubang berbentuk wajik
melambangkan adanya nafsu yang masih tersisa. Di tingkat III terdapat 16 stupa
dengan lubang hiasan berbentuk persegi, bersisi horisontal datar dan sisi
vertikal tegak. Lubang berbentuk persegi ini melambangkan nafsu yang telah
lenyap tak bersisa. Puncak atap merupakan sebuah stupa yang sangat besar. Konon
dalam stupa ini dahulu terdapat arca Sang Adhi Buddha, yaitu Dhyani Buddha
tertinggi dalam agama Buddha Mahayana.
Candi
Barabudhur telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan
pada masa pemerintahan Belanda, yaitu pada tahun 1907 – 191, di bawah pimpinan
Van Erp. Dalam pemugaran ini yang diutamakan adalah mengembalikan ketiga teras
atap candi dan stupa pusatnya. Pemugaran kedua berlangsung selama sepuluh
tahun, yaitu tahun 1973 – 1983. Dalam pemugaran ini Candi Barabudhur dibongkar,
fondasi dan dindingnya diberi penguat beton bertulang, dan batu-batunya
diteliti, dibersihkan, diberi pengawet kedap air dan disusun kembali sesuai
susunannya semula.
No comments:
Post a Comment